Ketika kami mendorong Mary, yang usianya lima tahun, ke dalam ruang MRI (magnetic resonance imaging), aku mencoba membayangkan perasaannya. Ia telah menderita stroke yang menyebabkan tubuhnya lumpuh sebelah, dirawat di rumah sakit untuk pengobatan tumor otak, padahal ia juga baru kehilangan ayahnya, ibunya, dan rumahnya. Kami semua ingin tahu reaksi yang ditunjukkan oleh Mary. Ia masuk ke dalam mesin MRI tanpa protes sedikit pun, dan kami mulai dengan pemeriksaan itu. Pada waktu itu, tiap imaging sequence mengharuskan pasien betul-betul diam tak bergerak selama kira-kira lima menit. Ini tidak mudah bagi siapa pun - terlebih bagi seorang anak lima tahun yang sudah menderita begitu banyak. Kami sedang melakukan imaging atau pencitraan atas kepalanya, sehingga gerakan sedikit pun pada wajahnya, termasuk bicara, akan menyebabkan citra yang dihasilkan terdistorsi.
Ketika squence pertama baru berjalan dua menit, kami melihat pada monitor bahwa mulut Mary bergerak. Kami mendengar suara yang teredam melalui interkom. Kami segera menghentikan pemeriksaan dan dengan lembut mengingatkan Mary agar tidak bicara. Ia tersenyum dan berjanji untuk tidak bicara. Kami menyetel ulang mesin itu dan memulai pemeriksaan dari awal lagi. Sekalilagi kami melihat gerakan pada wajahnya dan mendengar suara lirihnya. Yang diucapkannya tidak jelas. Semua menjadi agak kesal mengingat proses MRI yang harus dijalankan pada Mary masih panjang sekali.
Kami ke belakang dan mengeluarkan Mary dari mesin. Sekali lagi, ia memandangi kami dengan senyum polosnya dan tidak tampak gelisah atau marah sedikitpun. Teknisi kami, dengan suara agak kasar, menegur, "Mary, jika kamu bicara lagi, akibatnya gambarmu menjadi kabur."
Mary tetap tersenyum waktu menjawab, "Aku tidak bicara. Aku menyanyi. Kata kalian aku tidak boleh bicara." Kami saling memandang. Kami yang salah, bukan anak itu.
"Apa yang kau nyanyikan?" tanya salah seorang dari kami.
"Yesus Sayang Aku," katanya dengan mantap. "Aku selalu menyanyikan lagu ‘Yesus Sayang Aku' kalau aku sedang senang."
Semua yang hadir di ruangan itu tidak bicara. Senang? Bagaimana mungkin anak kecil ini merasa senang? Aku dan teknisi yang telah menegurnya cukup keras terpaksa keluar dahulu dari ruangan itu untuk menenangkan diri karena air mata kami tidak terbendung lagi.
Sejak hari itu, setiap kali kami merasa stres, sedih, atau kecewa dengan sebagian jalan hidup ini, aku segera mengingat Mary. Kesahajaan dan kepolosannya merupakan sumber ilham bagiku. Contoh yang diberikannya membuatku melihat betapa kebahagiaan adalah anugerah yang tak ada bandingannya - namun siapa pun boleh menerimanya, kalau mau.
Sumber : (James C. Brown, M.D., A 5th Portain Of Chicken Soup For The Soul)